Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan tertua di Pulau Jawa yang meninggalkan jejak sejarah panjang dan gemilang.
Tercatat ada 20 raja yang memimpin kerajaan ini, dimulai dari masa awal berdirinya pada abad ke-7 Masehi hingga runtuh pada abad ke-11 Masehi.
Tak banyak yang mengetahui secara pasti kisah para raja yang mewarnai setiap zamannya dalam membangun peradaban Kerajaan Sunda yang megah.
Oleh karena itu, marilah kita simak secara singkat sejarah 20 raja dari kerajaan sunda tersebut.
Raja-Raja Kerajaan Sunda
Tarusbawa (669-723 Masehi)
Tarusbawa adalah sosok raja pertama Kerajaan Sunda yang memerintah dari tahun 669 hingga 723 Masehi selama 54 tahun masa pemerintahan. Beliau sebelumnya adalah putra mahkota Kerajaan Tarumanegara dari ayahandanya yang bernama Sri Maharaja Purnawarman.
Sebagai keturunan raja-raja sebelumnya, Raja Tarusbawa memiliki visi dan misi untuk meneruskan kejayaan leluhurnya dalam memakmurkan tanah Sunda, seperti pada zaman keemasan Tarumanagara pimpinan Sri Maharaja Purnawarman pada abad ke-5 Masehi.
Setelah berhasil memimpin Kerajaan Tarumanegara, Raja Tarusbawa bertekad membangun kembali kerajaan kerajaan dari awal.
Sebagai raja baru, beliau mendapat dukungan penuh dari rakyatnya untuk memimpin dan mengembalikan kemakmuran negeri Sunda.
Raja Tarusbawa dikenal sebagai raja bijaksana dan cinta damai. Beliau tidak pernah menginginkan peperangan melainkan berupaya membangun tatanan masyarakat yang tentram dan sejahtera di bawah kepemimpinannya.
Usaha Raja Tarusbawa tak sia-sia. Setelah 54 tahun masa pemerintahan, kerajaan Sunda yang baru dipulihkannya dari Kerajaan Tarumanegara itu kembali menjadi kerajaan besar dan makmur di Pulau Jawa.
Bahkan, luas wilayah kekuasaannya disebut-sebut meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Pencapaian gemilang Kerajaan Sunda tersebut menjadikan Raja Tarusbawa sebagai raja yang dimuliakan dan dihormati di Nusantara.
Tak lama sebelum wafat pada usia 85 tahun, Raja Tarusbawa digantikan oleh Harisdarma atau sanjaya untuk meneruskan kepemimpinannya tersebut.
Harisdarma atau Sanjaya (723-732 Masehi)
Harisdarma yang juga dikenal sebagai Raja Sanjaya merupakan raja kedua Kerajaan Sunda setelah menggantikan mertuanya Raja Tarusbawa.
Beliau memerintah kerajaan tersebut dalam rentang waktu 723 hingga 732 Masehi. Sejarah mencatat bahwa Raja Sanjaya sebelumnya adalah putra mahkota Kerajaan Mataram Kuno.
Setibanya di Tanah Sunda, Raja Sanjaya menikahi putri Raja Tarusbawa. Setelah mangkatnya sang mertua, beliau pun naik tahta menjadi raja baru Kerajaan Sunda menggantikan ayah mertuanya itu.
Konon, masyarakat Sunda sangat menerima kehadiran Raja Sanjaya sebagai penguasa mereka yang baru. Bagaimana tidak, Raja Sanjaya ternyata juga sama bijaksananya dengan Raja Tarusbawa. Selama masa pemerintahannya yang singkat, Kerajaan Sunda terus berkembang pesat dan semakin memperluas pengaruhnya di Nusantara.
Sayangnya pada tahun 732 Masehi, Raja Sanjaya memutuskan turun takhta dan mengembalikan kekuasaan Kerajaan Sunda ke tangan keluarga Tarusbawa, yakni Tamperan Barmawijaya, menantu dari putra mahkota Raja Tarusbawa.
Raja Sanjaya kemudian kembali ke tanah leluhurnya di Jawa Tengah. Meski begitu, rakyat Sunda tetap menghormati dan mengenang jasa baik sang Raja Sanjaya atas kontribusinya membawa kemakmuran selama memerintah Kerajaan Sunda.
Tamperan Barmawijaya (732-739 Masehi)
Raja Tamperan Barmawijaya adalah menantu dari putra mahkota Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Raja Tarusbawa. Beliau ditunjuk sebagai raja ketiga Kerajaan Sunda menggantikan Raja Sanjaya yang turun takhta pada tahun 732 Masehi.
Pada saat dilantik sebagai raja, Raja Tamperan Barmawijaya telah berusia sekitar 30 tahunan. Meski belum memiliki seorang permaisuri, beliau sudah dikaruniai seorang putra bernama Pangeran Hariang Banga yang kala itu berusia 9 tahun.
Sang pangeran Hariang Banga merupakan hasil hubungan asmara raja dengan selir istana Dewi Pangrenyep. Menurut beberapa cerita, konon Dewi Pangrenyep merupakan istri simpanan dari pejabat tinggi istana Premana Dikusuma.
Sepanjang masa kepemimpinannya dari tahun 732 hingga 739 Masehi, Raja Tamperan Barmawijaya melanjutkan misi para pendahulunya, yaitu menjaga kestabilan dan kemakmuran Kerajaan Sunda sebagai kerajaan besar dan berpengaruh di Pulau Jawa.
Setelah 7 tahun memerintah, Raja Tamperan Barmawijaya mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Sunda dan sebagai gantinya, ia menobatkan putranya Pangeran Harian Banga sebagai raja berikutnya.
Raja Tamperan Barmawijaya dikenang sebagai raja bijaksana yang mencintai rakyatnya dan berjasa membawa kejayaan Kerajaan Sunda pada masanya.
Rakeyan Banga (739-766 Masehi)
Rakeyan Banga merupakan putra tunggal Raja Tamperan Barmawijaya yang kemudian dinobatkan sebagai raja keempat Kerajaan Sunda pada tahun 739 Masehi di usia yang masih sangat belia.
Sebelum naik takhta kerajaan, Pangeran Banga telah diculik dan ditawan oleh Kerajaan Galuh selama 20 tahun sejak usia 8 tahun. Ia dipaksa mengabdi sebagai bawahan senior Kerajaan Galuh yang bernama Manarah.
Selama ditawan, Pangeran Banga bertekad suatu saat bisa melepaskan diri dan merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi hak warisnya.
Setelah berjuang keras, pada usia 28 tahun, ia akhirnya berhasil meloloskan diri dari Galuh dan kembali ke tanah leluhurnya di Pakuan, ibu kota Kerajaan Sunda.
Dengan semangat perjuangannya yang tinggi, gelar kebangsawanannya "Sang Prabu Kerta Bhuwana Yasa Wiguna Hajimulya", dan dukungan penuh dari rakyat Sunda. Ia pun dimahkotai sebagai Raja Sunda menggantikan ayahandanya yang telah wafat.
Sepanjang 27 tahun masa pemerintahannya (739-766 M), Raja Rakeyan Banga berhasil mengembalikan kejayaan Kerajaan Sunda setelah sempat ditindas Kerajaan Galuh.
Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh bagian barat Pulau Jawa. Ia juga dikaruniai seorang putra mahkota yang kelak meneruskan takhtanya, yaitu Pangeran Rakeyan Medang.
Rakeyan Medang (766-783 Masehi)
Rakeyan Medang merupakan putra mahkota dari Raja Sunda Rakeyan Banga. Setelah ayahandanya wafat pada tahun 766 Masehi, Pangeran Medang naik tahta menggantikan beliau dengan gelar Prabu Hulukujang. Ia adalah raja kelima Kerajaan Sunda yang memerintah selama 17 tahun dari tahun 766 hingga 783 Masehi.
Konon Prabu Hulukujang adalah sosok raja yang gagah berani dan disegani di dalam maupun di luar istana. Sepanjang masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda semakin meluas ke berbagai penjuru, meliputi Jawa Barat, Banten, Jakarta, bahkan hingga ke timur melampaui sungai Citarum yang merupakan basis kekuatan tradisional kerajaan tetangga Galuh.
Meskipun telah beristrikan seorang permaisuri, Prabu Hulukujang dikaruniai seorang putri bernama Dewi Samatha, namun tidak memiliki pewaris laki-laki.
Menjelang akhir hayatnya pada tahun 783 Masehi, sang prabu menikahkan putrinya dengan Pangeran Rakeyan Hujung Kulon dari Kerajaan Galuh yang merupakan keturunan Manarah. Kemudian setelah mangkat, takhta Kerajaan Sunda pun jatuh ke tangan menantunya tersebut dengan nama baru Prabu Gilingwesi.
Prabu Giliwesi (785-795 Masehi)
Prabu Giliwesi yang juga dikenal dengan nama Rakeyan Hujung Kulon adalah menantu dari Raja Sunda sebelumnya, Rakeyan Medang.
Ia merupakan putra Mahkota Kerajaan Galuh dari pasangan Raja Mansiri dan cucu buyut dari Maharaja Ciung Wanara alias Manarah, musuh bebuyutan Kerajaan Sunda sejak zaman dahulu.
Prabu Giliwesi menikahi Puteri Dewi Samatha, putri tunggal Raja Rakeyan Medang, setelah sang raja wafat pada tahun 783 Masehi.
Karena mendiang Raja Rakeyan Medang tidak memiliki pewaris laki-laki, maka takhta Kerajaan Sunda pun berpindah tangan ke menantunya, Pangeran Giliwesi dari Galuh. Ia kemudian dinobatkan sebagai Raja Sunda keenam dengan gelar kebesaran Sri Maharaja Linggapati.
Sepanjang 12 tahun masa pemerintahannya di Kerajaan Sunda (783-795 Masehi), Prabu Giliwesi berupaya mempertahankan kemakmuran dan menjaga marwah kerajaan warisan leluhurnya.
Dari permaisuri Dewi Samatha, Baginda Raja telah dikaruniai seorang putri bernama Dewi Arista. Namun sangat disayangkan, persis seperti mendiang ayah mertuanya Raja Rakeyan Medang, Prabu Giliwesi pun tidak memiliki keturunan laki-laki yang bisa meneruskan garis kerajaan.
Akibatnya, setelah sang Prabu mangkat pada tahun 795 Masehi, kekuasaan Kerajaan Sunda sekali lagi jatuh ke menantunya. Kali ini bernama Pangeran Pucukbumi Darmeswara dari Kerajaan Galuh, yang kemudian lebih dikenal sebagai Prabu Wuwus.
Selain keenam raja tersebut, berikut 14 raja selanjutnya di kerajaan sunda, yaitu:
- Pucukbumi Darmeswara (795-819 Masehi)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891 Masehi)
- Prabu Darmaraksa (891-895 Masehi)
- Windusakti Prabu Dewageng (895-913 Masehi)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 Masehi)
- Rakeyan Jayagiri (916-942 Masehi)
- Atmayadarma Hariwangsa (942-954 Masehi)
- Limbur Kancana (954-964 Masehi)
- Prabu Munding Ganawirya (964-973 Masehi)
- Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989 Masehi)
- Prabu Brajawisesa (989-1012 Masehi)
- Prabu Dewa Sanghyang (1012-2029 Masehi)
- Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030 Masehi)
- Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 Masehi)
Kesimpulan
Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan tua di Pulau Jawa yang meninggalkan sejarah panjang. Tercatat ada 20 raja yang memimpin Kerajaan Sunda sejak berdirinya pada abad ke-7 Masehi hingga runtuh di abad ke-11 Masehi.
Raja-raja Kerajaan Sunda berasal dari berbagai latar belakang, ada yang merupakan keturunan langsung kerajaan pendahulunya Tarumanegara, ada pula dari kerajaan saingannya Galuh, bahkan dari Kerajaan Mataram Kuno.
Meski begitu, para raja tersebut berhasil membawa Kerajaan Sunda menjadi kerajaan besar dan makmur dengan wilayah kekuasaan meliputi hampir seluruh Jawa Barat, Banten, Jakarta, bahkan sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sepanjang kurun waktu 400 tahun lebih, Kerajaan Sunda mengalami masa keemasan dan kemunduran bergantian. Namun pada akhirnya runtuh setelah mengalami periode kekacauan akibat perebutan takhta dari kerajaan tetangga.
Meski demikian, peninggalan dan pengaruhnya masih bisa dirasakan hingga kini melalui berbagai aspek kebudayaan Sunda yang khas.